Direktur riset dari Paramadina Public Policy Institute, Adrian Azhar Wijanarko menjelaskan, tujuan awal pembangunan Coretax untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan integritas data perpajakan di Indonesia. Namun belakangan bermasalah hingga kini.
“Saya dukung terkait peningkatan efisiensi, transparansi, dan integritas data perpajakan di Indonesia, tapi saya tidak percaya kalau Coretax itu akan memecahkan permasalahan pajak kita,” ungkap Adrian kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, dikutip Rabu (29/10/2025).
Menurutnya, Coretax merupakan salah satu tools. Misalnya, ketik seseorang berjualan, maka masyarakat bisa berjualan lewat daring lewat e-commerce, yakni salah satu tools marketing.
Dan, kunci suksesnya bukan terletak pada e-commerce, namun terkait produk, harga, dan faktor-faktor lain yang mendukung produk itu bagus. Sehingga bisa terjual dengan bagus.
“Permasalahan pajak di Indonesia memang kompleks. Permasalahan struktural banyak pemasukan dan transaksi tidak kena pajak. Kalau permasalahan struktural tidak dibenahi itu juga tidak akan mengejar ratio tax kita,” tuturnya.
“Saya beli telur di pasar tradisional (tidak kena pajak). Saya naik ojek pangkalan (tukang ojek nya tidak melaporkan pajak). Belum lagi beberapa perusahaan besar melakukan penghindaran pajak dengan berbagai manuver-nya,” lanjutnya.
Ia menyatakan, fungsi Coretax hanya sebatas menyelesaikan masalah administrasi semata. Yang tadinya dilakukan secara manual, kini dilakukan lewat sistem. Tentu hal itu untuk meningkatkan layanan pajak dan menurunkan manipulasi data, dan data ganda wajib pajak.
“Saya mengapresiasi Pak Purbaya yang mampu melakukan transparansi ke publik. Tapi memang banyak faktor dalam menentukan harga (Coretax) ini. Salah satunya biaya yang tinggi itu sumber daya manusianya,” kata Adrian.
Jika tim yang mengerjakan Coretax salah satunya berasal dari Korea Selatan (Korsel), kata dia, mungkin bisa menjelaskan struktur biaya gajinya juga tinggi. Dan juga mungkin ada biaya lain yang membuat total biayanya membengkak. “Artinya, jangan sampai riuh masalah Coretax saja, namun melupakan masalah yang fundamental,” pungkas Adrian.
Vendor Coretax tak Kooperatif
Sebelumnya, Menkeu Purbaya blak-blakan akar permasalahan Coretax yang belum teratasi hingga saat ini. Aplikasi Coretax senilai Rp1,3 triliun itu, digarap kontraktor asing, memiliki beberapa lapisan. Sehingga, perbaikan yang semula ditargetkan selesai sebulan, menjadi molor.
“Error artinya masih belum sempurna. Tapi kalau kita lihat, jadi ada beberapa layer, yang di upper layer ya, itu beberapa efek seperti sering time out, tidak bisa login, setelah login tidak bisa melanjutkan pekerjaan, karena di dalamnya terjadi time out,” ujar Purbaya, Jumat (24/10/2025).
Perangkat lunak yang dikendalikan LG, perusahaan asal Korea Selatan, belum bisa diakses oleh pemerintah. Pasalnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum memiliki kode sumber (source code) dari sang kontraktor.
“Cuma ternyata masih ada bagian-bagian yang terikat kontrak dengan pihak LG, di mana kita belum dikasih akses ke sana, karena mereka masih mengerjakan itu. Itu baru Desember baru dikasih ke kita ya. Tapi yang bisa ditangani kita sudah kita perbaiki semaksimal mungkin,” ujar Purbaya.
Atas kendala ini, Purbaya menjanjikan permasalahan Coretax bakal bisa teratasi pada Februari 2026. “Saya bilang satu bulan (bisa perbaiki), tapi karena kendala tadi kita gak bisa masuk, karena ada kontrak. Jadi ini kan dibangun 4 tahun, dengan segala macam kendala yang ada ya, tapi saya yakin nanti begitu dikasih ke kita, Januari, Februari udah selesai itu. Januari udah selesai harusnya,” ujarnya.
Purbaya mengeluhkan pihak LG yang terkesan kurang responsif terhadap permintaan pemerintah. “Jadi LG itu, sebelum kita jalankan tim special task force ini, mereka itu kalau ditanya, enggak peduli. Ditanya di sana, cuek dan respons lama,” pungkasnya.
Sumber : okezone88.id






